BPBD

camat

Pj Walikota Tangerang

E satu.com (Indramayu)
- Paguyuban Gotong Royong Pembela Bupati Nina bersama sama dengan masyarakat desa yang menyelenggaran Pilwu tahun ini mendukung penuh kebijakan Bupati Indramayu, Nina Agustina Dai Bachtiar yang tidak memberi ijin terhadap ASN yang mencalonkan diri sebagai Kuwu pada Pilwu serentak tahun ini. 

Seperti diketahui, kontestasi pemilihan kepala desa / Kuwu serentak di 171 Desa pada tahun 2021 ini di wilayah Kabupaten Indramayu sudah memasuki tahap verifikasi persyaratan bakal calon atau peserta yang mendaftar pada Panitia Pemilihan Kuwu (Panpilwu) tingkat desa. Atau memasuki tahap menjelang penetapan dari bakal calon menjadi calon. 


Paguyuban Gotong Royong Pembela Bupati Nina Agustina, Musthalih Baidlowi, mengatakan hal yang menjadi issu perdebatan di kalangan stakeholder terkait adalah soal salah satu persyaratan bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau ASN (Aparatur Sipil Negara) yang mencalonkan diri sebagai kepala desa harus ada ijin tertulis dari pembina kepegawaian daerah.  

Siapa Pejabat Pembina Kepegawaian ?. Adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian  pegawai ASN dan pembinaan  manajemen ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

"Pejabat Pembina Kepegawaian di daerah adalah Bupati/Walikota. Maka kalau ijin tertulisnya bukan dari Bupati, itu tidak memenuhi syarat,"katanya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Sabtu, (10/4/2021).

Dasar hukumnya adalah pasal 43 ayat (1) PP nomor  43 Tahun 2014 tentang  pelaksanaan UU Desa, dimana Peraturan Pemerintah ini menjadi cantolan dan dirujuk dalam Perda Kabupaten Indramayu Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu yang dituangkan dalam pasal 12 ayat (1) yang bunyi sama dengan pasal 43 dalam Peraturan Pemerintah tersebut di atas. Menjadi krusial ternyata pada tataran teknis, frase "pejabat pembina kepegawaian" direduksi dan ditafsirkan menjadi "atasan".

Dengan kalimat "atasan", maka yang terjadi bagi ASN dilingkungan pendidikan mengurus atau dapat surat keterangan dari kepala dinas pendidikan atau karena ASN nya staf di kecamatan ya atasannya camat. Bertambah krusial karena ASN yang bersangkutan sudah dapat keterangan atau ijin tertulis dari atasan maka merasa sudah memenuhi syarat.

Oleh karenanya, tafsir selanjutnya yang lebih tidak logis lagi adalah ditetapkan terlebih dahulu menjadi calon Kuwu, baru kemudian menyusul mengurus ijin tertulis dari bupati. 

"Ini sama halnya memaksa Bupati agar memberi ijin tertulis, apakah bupati dapat dipaksa ataukah bupati wajib hukum nya untuk memberi ijin kalau tidak memberi ijin maka bupati bisa dianggap bersalah,?" tanya Baidlowi. 

Mencermati hal tersebut dan berdasarkan  fakta dan data bahwa Bupati Nina Agustina, dianggap telah mengambil kebijakan secara tepat dan benar dengan mengeluarkan surat bernomor : 800/312-BPKPSDM perihal Ijin Pencalonan Kuwu PNS Pada Penyelenggaraan Pemilihan Kuwu Tahun 2021 tertanggal 8 April 2021.

Pada pokok isi sura tersebut, Bupati  Indramayu tidak memberi ijin terhadap ASN yang mencalonkan diri sebagai Kuwu pada Pilwu serentak tahun ini dengan mendasarkan pada dua pertimbangan yaitu: pertimbangan dasar hukum dan pertimbangan kebutuhan organisasi pemerintah Kabupaten Indramayu. 

"Itu hal krusial yang pertama dan clear diselesaikan dengan Surat Bupati  tersebut," tuturnya. 

Hal krusial  yang kedua adalah soal ketidak puasan bagi ASN yang merasa terganjal dengan adanya surat  bupati tersebut dan disinyalir atau diduga  sedang menggalang kekuatan untuk mengerahkan pendukungnya agar melakukan aksi demo kepada  bupati dengan dasar argumentasi karena yang bersangkutan telah keluar biaya banyak (cost politik yang sudah dikeluarkan). 

Terhadap tuntutan ini, setidaknya bisa diajukan argumentasi, Pertama, argumentasi serius yaitu, Berdemo adalah hak konstitusional dan mencalon diri sebagai Kuwu adalah hak demokrasi individual yang juga dijamin oleh konstitusi . 

"Bagi ASN hak tsb juga dijamin dan diakomodir tapi dengan syarat. Hak untuk dipilih bagi PNS dalam jabatan politik (dhi. Kuwu/kades) tidak melekat/linier dengan kewajibannya sebagai ASN,"terangnya.

Maka tuntutan hak bisa dipenuhi manakala terkait melekat dengan kewajiban. Ia mencontohkan ASN yang menjalankan tugas kewajibannya sebgai ASN tetapi hak nya tidak dipenuhi (seperti gaji fasilitas intensif dan hak yang melekat karena adanya kewajiban), maka tuntutan hak yang sepertu ini yang mempunyai dasar hukum untuk menuntut haknya . 

"Lah ini dasarnya karena sudah habis biaya banyak.. ?  Apa dasar logis akal warasnya atas tuntutan seperti ini ?," ungkapnya. 

Kedua, argumentasi bercanda yaitu: ya begitulah konsekwensi bagi siapapun yang berniat atau berkehendak dalam kontes jabatan politik (jabatan politik adalah jabatan  yang diperoleh melalui pemilihan rakyat/pemilu)  Kuwu adalah jabatan politik.  

"Jadi, jika argumentasinya seperti itu. emang siapa yang suruh ? Kok nuntutnya ke bupati ?, kalau ini dipaksakan mendemo bupati, maka kami siap menghadapi dengan demo tandingan yang lebih banyak dari pihak ASN tersebut. Dan jangan lupa mesti di catat baik baik. Akan menjadi catatan kredibilitas bagi ASN yang bersangkutan jika mengacu pada PP 53," paparnya. 

Ketiga, argumentasi etik dan ideal, yaitu menjaga marwah dan netralitas ASN dalam proses kontestasi pemimpin tingkat desa. Hal ini sekurangnya mencakup dua aspek yakni aspek profesionalisme (mencegah sifat dan sikap rakus jabatan) dan mencegah potensi korupsi di kalangan ASN. (Iwan)
Baca Juga

Post A Comment:

0 comments:

Back To Top