E satu.com - Ketika mendengar kata Advokat, mungkin hal pertama yang terlintas di pikiran kita masyarakat pada umumnya adalah suatu profesi yang berkaitan dengan pengadilan.Profesi Advokat sendiri memang sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat.
Masyarakat, biasanya melihat peran seorang advokat itu ketika
mereka mendampingi selebriti, pejabat dan tokoh-tokoh ternama di Indonesia yang
sedang tersandung kasus hukum dan menjadi sorotan publik muncul dalam sebuah
pemberitaan media massa.
Mereka yang menggeluti profesi advokat, memang bekerja untuk
memberikan suatu pembelaan atau jasa hukum baik di dalam maupun di luar
persidangan kepada perorangan, lembaga dan koorporasi dari agenda hukum perdata
hingga pidana yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang
Nomor 18 tahun 2003 tentang advokat.
Stigma masyarakat tentang advokat di Indonesia sendiri
sangatlah beragam. Salah satunya ialah profesi ini kerap diidentikkan dengan
kekayaan atau gaya hidup mewah karena honorarium atau bayaran besar yang
diterima.
Hal tersebut lantaran seseorang yang terjerat kasus hukum
atau disebut sebagai klien, sering kali tidak memikirkan nominal uang yang
mereka gelontorkan. Semata-mata untuk mendapatkan pembelaan diri di mata hukum
atau memenangkan suatu perkara yang dihadapi.
Bayaran yang diterima oleh profesi yang nyentrik di kalangan
pengusaha besar dengan sebutan lawyer ini, umumnya dihargai dengan jam terbang
dan hasil kerjanya.
Biasanya, semakin rumit kasus yang ditangani maka makin
melambung tinggi pula bayaran atas jasa seorang Advokat.
Kesuksesan dalam menyelesaikan perkara yang rumit itu
nantinya juga akan memberikan dampak besar bagi popularitas atau reputasi bagi
advokat itu sendiri. Tidak hanya mendapatkan nama baik, namun juga akan
mendapat perhatian publik untuk menggunakan jasanya.
Kemewahan yang identik dengan profesi ini bisa dilihat dari
sejumlah advokat sukses dan ternama di Indonesia, sebut saja seperti Hotman
Paris Hutapea dan Hotma Sitompul.
Banyaknya kasus besar yang menjadi sorotan publik dan
berhasil ditangani dengan baik, membuat kedua pria asal tanah Batak ini masuk
dalam daftar advokat dengan bayaran termahal di tanah air.
Sehingga, rumah senilai miliaran rupiah, deretan supercar
atau mobil mewah, perhiasan serta barang branded yang melekat di tubuh mereka
sudah menjadi hal yang lumrah dipamerkan baik melalui pemberitaan maupun media
sosial.
Bayaran tinggi yang identik dengan advokat itu pada akhirnya
acap kali justru menumbuhkan persepsi di tengah masyarakat, bahwa suatu
pembelaan atau bantuan hukum dari profesi ini adalah barang mewah yang sulit
dijangkau.
Namun di balik itu, siapa sangka advokat pada hakikatnya
merupakan profesi mulia dan terhormat yang dikenal dengan istilah ‘Officium
Nobile’.
Artinya, profesi advokat selalu mengedepankan kepentingan
umum atau orang banyak, terutama bagi orang tidak mampu yang terlibat masalah
hukum.
Hanya saja, peran advokat saat memberikan bantuan kepada
masyarakat tidak mampu yang berbenturan dengan kasus hukum selama ini masih
jauh dari pemberitaan dan belum banyak diketahui khalayak ramai.
Letak kemuliaan profesi Advokat ini, direfleksikan dari
bantuan hukum kepada masyarakat tidak mampu secara cuma-cuma atau gratis yang
dikenal dengan istilah Pro Bono Publico atau yang disingkat dengan Pro Bono.
Istilah Pro Bono berasal dari bahasa latin, yang artinya
sebuah pekerjaan profesional yang dilakukan dengan sukarela tanpa menerima
pembayaran atau honorarium.
Bantuan hukum secara Pro Bono saat ini bahkan telah menjadi
salah satu program prioritas oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) di
bawah kepemimpinan Prof. Dr Otto Hasibuan, SH.MM.
Advokat yang namanya melambung tinggi saat menangani kasus
Kopi Sianida ini, dengan tegas meminta advokat yang tergabung dalam Peradi
untuk memberikan bantuan hukum Pro Bono dengan pelayanan kelas satu kepada
masyarakat tidak mampu.
Menurutnya, bantuan hukum secara Pro Bono bagi orang tidak
mampu tetap harus diberikan setara atau sama dengan bantuan hukum yang berbayar
atau honorarium.
Hal tersebut dikatakannya saat memberikan sambutan dalam
pelantikan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Peradi Karanganyar, Rabu (15/12/2021)
lalu.
“Sesuai kode etik advokat Indonesia, kalau memberikan bantuan hukum secara pro bono kepada yang tidak mampu, maka tidak boleh tidak bersungguh-sungguh. Anda harus melakukan pembelaan itu sebagaimana anda dibayar. Jangan sampai karena pro bono anda memberikan servis yang kelas dua,” ujar Otto Hasibuan.
Menjadi advokat ‘beraliran’ Pro Bono itu sendiri mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor 1 tahun 2010 tentang Petunjuk dan Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.
Meskipun Pro Bono adalah kewajiban yang melekat kepada
setiap individu advokat, dalam membantu pencari keadilan yang kurang secara
finansial itu nyatanya tidak bisa dilakukan semata-mata hanya karena tuntutan
profesi semata, melainkan perlu dorongan dari hati nurani atau panggilan jiwa
advokat itu sendiri.
Pasalnya, Pro Bono mengakar pada nilai luhur pribadi advokat
itu sendiri untuk punya rasa peduli dan keinginan membantu proses hukum bagi
mereka yang membutuhkan.
Meskipun, terkadang realitanya seorang advokat sering kali
dihadapkan antara mematok bayaran untuk jasanya atau membantu masyarakat tidak
mampu yang membutuhkan bantuan hukum secara sukarela.
Namun, tidak sedikit kisah menarik dan menyentuh dari
seorang advokat yang pada akhirnya memilih mengabadikan dirinya untuk
memberikan bantuan hukum secara sukarela kepada rakyat kecil atau orang tidak
mampu.
Bagaimana advokat tetap memberikan hatinya secara penuh dan
bekerja dengan totalitas kepada kliennya yang tidak mampu, meskipun sedang
memberikan bantuan hukum secara gratis.
“Profesi advokat adalah profesi yang mulia yang disebut
officium nobile, di saat dia berpikir untuk dapur keluarganya, dia tetap
melaksanakan jiwa sosial dengan memberikan pembelaan atau bantuan hukum gratis
ke masyarakat melalui Pro Bono.
Post A Comment:
0 comments: