Aksi ini digelar untuk menuntut pihak PLTU segera memberikan ganti rugi atas sekitar 200 hektare lahan warga yang kini masuk dalam area proyek tersebut.
Kuasa hukum warga, Insank Nasrudin, mengungkapkan bahwa hingga saat ini mediasi antara warga, PLTU, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta pihak terkait lainnya masih belum menemukan titik terang.
Menurutnya, BPN terus mempermasalahkan keaslian sertifikat tanah milik warga, meskipun sertifikat tersebut diterbitkan oleh BPN sendiri.
"Pertemuan tadi sudah menghasilkan kesepakatan, salah satunya pihak BPN akan melakukan pengecekan autentik, meskipun kami melihat mereka tidak tegas. Ada dua sertifikat yang jelas merupakan produk mereka, tetapi masih perlu pengecekan fisik. Ini menjadi ironi," kata Insank pada Rabu (6/11/2024).
Ia juga mengapresiasi langkah Polresta Cirebon yang akan turun tangan melakukan investigasi langsung terkait permasalahan ini.
Insank menduga adanya upaya penghilangan data kepemilikan tanah warga di area PLTU oleh BPN.
"Sudah terungkap bahwa ada data yang dihapus oleh BPN. Pertanyaannya, apa yang dihapus itu menyangkut hak masyarakat," ujarnya.
Lebih lanjut, Insank menyampaikan adanya indikasi permainan mafia tanah dalam kasus ini, yang melibatkan transaksi kepemilikan tanah warga.
"Kami menduga ada permainan kompromi di antara oknum-oknum institusi terkait," ungkapnya.
Dari 200 hektare tanah yang belum diganti rugi, diketahui terdapat sekitar 300 pemilik lahan dari lima desa di Kecamatan Astanajapura. (Wnd)
Post A Comment:
0 comments: