Pendidikan adalah jembatan menuju kemajuan bangsa dan kunci membentuk generasi yang beradab dan produktif. Mirisnya, walaupun visi ini telah dituangkan dalam berbagai kebijakan di Indonesia, realitas di lapangan menunjukkan masih adanya jurang lebar antara harapan dan kenyataan.
Data dari Kompas.com (4 Maret 2025) menunjukkan bahwa jutaan anak Indonesia berhenti sekolah sebelum menyelesaikan pendidikan menengah. Di banyak daerah, terutama wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), anak-anak mengalami keterbatasan akses terhadap sekolah, baik karena faktor geografis, keterbatasan sarana dan prasarana, hingga alasan ekonomi keluarga.
Ketimpangan yang mencolok terjadi antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Data BPS di Maret 2023 menunjukkan bahwa di pedesaan, penduduk yang menamatkan jenjang pendidikan SMA/sederajat hanya sebesar 27,98%. Sedangkan di perkotaan, terdapat 49,16% penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah menamatkan pendidikan SMA/sederajat (hampir dua kali lipat).
Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Program Indonesia Pintar (PIP) telah diperkenalkan untuk membantu biaya pendidikan anak-anak dari keluarga kurang mampu / penduduk pedesaan. Namun, laporan dari berbagai LSM pendidikan menyebutkan bahwa banyak anak dari keluarga miskin belum mendapatkan manfaat dari program ini karena persoalan administrasi, kurangnya informasi, atau tidak terdatanya secara valid oleh pihak berwenang.
Di sisi lain, kualitas pendidikan yang sampai ke pedesaan juga menjadi perhatian. Di daerah tertinggal, guru berkualitas sulit ditemukan. Banyak sekolah masih kekurangan tenaga pengajar, sarana belajar yang layak, dan fasilitas pendukung seperti laboratorium, perpustakaan, hingga akses internet. Kondisi ini membuat mutu pendidikan tidak merata, sehingga menciptakan ketimpangan hasil belajar antardaerah.
Kontributor Masalah Ketimpangan Pendidikan
Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap ketimpangan pendidikan adalah faktor kemiskinan. Bagi jutaan keluarga miskin di Indonesia, menyekolahkan anak bukan perkara mudah. Biaya yang harus ditanggung, meskipun sekolah diklaim gratis, tetap memberatkan. Seragam, buku pelajaran, alat tulis, biaya transportasi, iuran sekolah, dan biaya ekstrakurikuler adalah realitas biaya pendidikan yang tidak semua keluarga mampu menanggungnya.
Data BPS 2023 menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga untuk pendidikan mencapai sekitar 5-10% dari total pendapatan, angka yang cukup signifikan bagi keluarga miskin. Akibatnya, banyak orang tua lebih memilih anak-anak mereka bekerja membantu ekonomi keluarga daripada melanjutkan sekolah, apalagi ke jenjang menengah atau tinggi. Selain itu, banyak orang tua tidak menyelesaikan pendidikan dasar, sehingga tidak memiliki gambaran atau pemahaman tentang pentingnya pendidikan jangka panjang. Alih-alih mendorong anaknya bersekolah tinggi, mereka justru lebih suka anaknya cepat bekerja untuk menambah penghasilan keluarga.
Program bantuan pendidikan seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) telah dijalankan, namun sayangnya belum sepenuhnya tepat sasaran. Masih banyak keluarga miskin yang tidak terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), yang menjadi basis pemberian bantuan. Kesalahan data, kurangnya sosialisasi, dan rumitnya proses administrasi membuat banyak anak kehilangan kesempatan untuk mendapat bantuan tersebut.
Ketimpangan pembangunan antara wilayah kota dan desa, antara Pulau Jawa dan luar Jawa, juga berkontribusi terhadap ketimpangan akses pendidikan. Di daerah terpencil dan tertinggal, fasilitas pendidikan sangat minim. Sekolah-sekolah rusak, kekurangan guru, serta ketiadaan akses transportasi menjadi persoalan serius.
Di Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan, anak-anak harus berjalan kaki selama 2-3 jam untuk sampai ke sekolah. Hal ini bukan hanya melelahkan, tetapi juga berisiko terhadap keselamatan anak, apalagi saat musim hujan atau saat harus melewati sungai dan hutan. Tidak heran jika angka putus sekolah di wilayah-wilayah ini jauh lebih tinggi daripada di kota-kota besar.
Ketimpangan distribusi guru juga berkontribusi terhadap ketimpangan pendidikan. Guru-guru berpengalaman lebih memilih mengajar di kota dengan fasilitas lebih baik dan insentif yang memadai. Daerah-daerah terpencil hanya mendapat guru-guru kontrak atau yang belum berpengalaman, dengan sistem pelatihan yang juga terbatas. Akibatnya, mutu pendidikan antara perkotaan dan pedesaan menjadi timpang.
Program digitalisasi sekolah yang dicanangkan pemerintah juga belum menjangkau seluruh wilayah. Banyak sekolah di pedalaman belum memiliki listrik stabil, apalagi jaringan internet. Ini menunjukkan bahwa transformasi digital di bidang pendidikan belum berjalan merata, bahkan berpotensi menciptakan elitisme digital antara siswa kota dan desa.
Persoalan akses pendidikan tidak hanya terjadi pada tingkat dasar dan menengah, tetapi juga perguruan tinggi. Biaya kuliah yang tinggi, ditambah biaya hidup dan transportasi, membuat banyak siswa miskin tidak berani bermimpi masuk universitas. Meskipun ada beasiswa seperti KIP Kuliah, kuotanya sangat terbatas dan proses seleksinya cukup kompetitif.
Selain itu, siswa dari sekolah-sekolah berkualitas rendah kesulitan bersaing dalam seleksi masuk perguruan tinggi. Tes-tes yang digunakan sering kali menguntungkan siswa dari sekolah unggulan yang telah terbiasa dengan model ujian tersebut. Ini memperkuat fakta bahwa pendidikan tinggi masih menjadi domain kelas menengah dan atas.
Hal ini menciptakan diskriminasi sistemik. Anak dari keluarga kaya bisa memilih sekolah dengan fasilitas lengkap, guru berkualitas, dan lingkungan mendukung. Sementara anak miskin harus menerima kondisi seadanya atau bahkan keluar dari sistem pendidikan sama sekali.
Jika ditarik lebih dalam, kesulitan akses pendidikan rakyat tidak lepas dari sistem pendidikan yang terjebak dalam logika pasar. Pendidikan dijadikan komoditas, bukan hak. Sekolah-sekolah swasta dibuka sebagai bisnis, bukan pelayanan. Bahkan lembaga pendidikan negeri pun sering bersikap layaknya institusi komersial yang berlomba mengejar akreditasi dan pencitraan tanpa memikirkan keberpihakan pada siswa miskin.
Ini diperparah dengan pendekatan pemerintah yang terlalu teknokratis dalam mengelola pendidikan. Ukuran keberhasilan ditentukan oleh indeks-indeks dan statistik, bukan oleh sejauh mana pendidikan menjangkau dan membebaskan rakyat dari keterbelakangan. Padahal, pendidikan seharusnya menjadi alat mobilitas sosial vertikal, bukan sarana memperkuat struktur sosial yang timpang.
Solusi Menurut Islam: Membangun Peradaban Berbasis Ilmu dan Keadilan
Dalam Islam, pendidikan dipandang sebagai kebutuhan pokok sekaligus kewajiban fundamental bagi setiap individu. Konsep pendidikan tidak hanya terbatas pada penguasaan ilmu duniawi, tetapi mencakup penanaman nilai-nilai akidah, akhlak, dan tanggung jawab sosial. Sejak wahyu pertama turun dengan kata 'Iqra', Allah SWT telah menunjukkan betapa ilmu dan membaca memiliki kedudukan agung dalam Islam. Rasulullah SAW pun menegaskan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Rasulullah SAW bersabda:
"Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim." (HR. Ibnu Majah)
Sejarah mencatat bahwa dalam peradaban Islam klasik, negara bertanggung jawab penuh dalam menyediakan sistem pendidikan yang menyeluruh dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Berbeda dengan sistem kapitalistik modern yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas ekonomi, Islam menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan pokok dan hak dasar warga negara. Di masa kekhilafahan dulu, para khalifah mampu membangun madrasah, perpustakaan, dan memfasilitasi pengajaran oleh para ulama secara terbuka tanpa dipungut biaya.
Ketika pendidikan diserahkan pada mekanisme pasar, yang terjadi adalah eksklusi terhadap masyarakat miskin, komersialisasi layanan, serta degradasi kualitas karena lebih mementingkan profit ketimbang pembinaan generasi. Negara tidak seharusnya mengomersialkan pendidikan, melainkan harus menjadi penyedia utama layanan pendidikan.
Selain memiliki sistem pendidikan, Islam juga memiliki sistem ekonomi yang menopang terselenggaranya sistem pendidikan. Negara dalam sistem Islam atau Khilafah, membiayai pendidikan dari pos-pos anggaran seperti Baitul Mal, termasuk dana zakat, kharaj, jizyah, dan fai’. Sistem ini memungkinkan negara memberikan pendidikan gratis dan berkualitas tanpa harus bergantung pada mekanisme utang atau privatisasi.
Islam pun mendorong partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Masjid, selain sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai pusat pembelajaran. Tradisi halaqah ilmu, majelis taklim, dan diskusi ilmiah berkembang subur dalam lingkungan masyarakat Islam. Bahkan banyak ilmuwan Muslim muncul dari sistem pendidikan komunitas yang terintegrasi dengan nilai-nilai keislaman, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, hingga Imam Syafi’i.
Dalam sistem Islam, guru adalah profesi yang mulia dan dihormati. Negara memberikan insentif yang layak kepada para pengajar, serta memastikan pelatihan berkelanjutan agar kualitas pendidikan tetap terjaga. Tidak hanya itu, negara juga menyebarluaskan pusat-pusat pendidikan secara merata, baik di kota maupun desa, sehingga tidak ada ketimpangan akses antarwilayah sebagaimana yang terjadi saat ini di Indonesia.
Pendidikan dalam Islam juga tidak memandang status sosial, ekonomi, atau gender. Setiap individu memiliki hak yang sama untuk belajar dan berkembang. Contohnya, Aisyah RA dikenal sebagai salah satu pakar hadis yang menjadi rujukan banyak sahabat dan tabiin. Bahkan, warga negara non-muslim juga berhak mengenyam pendidikan berkualitas, seperti yang terjadi pada Musa bin Maimun yang merupakan ilmuwan Yahudi dapat mengenyam pendidikan berkualitas di Spanyol. Ini menunjukkan bahwa Islam telah lebih dahulu menegakkan prinsip inklusivitas pendidikan jauh sebelum wacana kesetaraan modern berkembang.
Dengan sistem Islam, pendidikan bukan hanya akan terjangkau oleh seluruh rakyat, tetapi juga bermutu tinggi karena dibangun atas pondasi nilai-nilai ilahiyah. Generasi yang dihasilkan bukan hanya berdaya saing secara global, tapi juga memiliki jati diri keislaman yang kuat, serta kepedulian sosial yang tinggi terhadap umat.
Sudah saatnya dunia Muslim, termasuk Indonesia, memikirkan kembali arah pembangunan pendidikan nasional. Jika pendidikan terus dijadikan alat politik, proyek bisnis, atau dibelenggu birokrasi, maka mustahil rakyat miskin bisa mencicipi kualitas pendidikan yang sejati. Sebaliknya, jika negara kembali kepada paradigma Islam dalam mendidik, maka keadilan dan kemajuan akan menjadi milik semua, bukan segelintir elit semata.
Penutup: Membangun Sistem Pendidikan Berbasis Islam
Pendidikan bukan hanya soal kecerdasan, tetapi juga soal keadilan. Jika rakyat disuruh pintar, maka akses pendidikan harus dibuka selebar-lebarnya, terutama untuk mereka yang paling membutuhkan. Kesenjangan harus ditangani, diawali dengan mencabut paradigma kapitalisme dalam pendidikan. Islam dapat menjadi solusi peralihan paradigma, mengingat Indonesia sebagai mayoritas muslim sudah sewajarnya untuk mengaplikasikan sistem Islam. Apalagi sistem Islam tidak hanya berbicara ibadah ritual, namun juga memiliki pengaturan yang lengkap dan terperinci, bahkan mengakomodasi juga warga yang beragama non-muslim.
Oleh : Triyana, S.Pd. (Praktisi Pendidikan di Cirebon)
Daftar Pustaka
1. Badan Pusat Statistik. (2023). Rata-rata Lama Sekolah Menurut Provinsi, 2023. Diakses dari https://www.bps.go.id
2. Kompas.com. (2025, Maret 4). Miris, Jutaan Anak Indonesia Putus Sekolah Sebelum Lulus SMA. Diakses dari https://www.kompas.com
3. https://data.goodstats.id/statistic/ketimpangan-pendidikan-desa-dan-kota-masih-tinggi-penduduk-desa-didominasi-tamatan-sd-raoZg
4. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2023). Laporan Kinerja Kemendikbudristek 2023. Jakarta: Kemendikbudristek.
5. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). Anggaran Fungsi Pendidikan dalam APBN 2023. Diakses dari https://www.kemenkeu.go.id
6. Republika.co.id. (2023, November 12). Distribusi Guru Tidak Merata, Daerah Terpencil Krisis Pendidik Berkualitas. Diakses dari https://www.republika.co.id
7. Hadis Riwayat Ibnu Majah, no. 224. Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.
8. Al-Qur’an. Surah Al-Mujadilah: 11.
9. Al-Qur’an. Surah Al-‘Alaq: 1-5.
10. Tim Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP). (2022). Peta Mutu Pendidikan di Daerah 3T. Jakarta: Kemendikbudristek.
11. Yayasan Indonesia Mengajar. (2023). Tantangan Pendidikan di Pelosok Negeri. Jakarta: YIM.
Post A Comment:
0 comments: