Pada 24 Juni 2025, media TangerangNews.co.id memberitakan bahwa Tunjangan Tugas Tambahan (TUTA) guru di Provinsi Banten dicoret dari APBD 2025. Kabar ini sontak menghebohkan dunia pendidikan. Banyak guru merasa cemas, kecewa, bahkan marah. Tidak sedikit yang mulai menyuarakan protes, dan sebagian berencana melakukan aksi turun ke jalan menuntut hak mereka yang dirampas.
TUTA selama ini menjadi bagian penting dari pemasukan guru, khususnya mereka yang memegang tanggung jawab tambahan seperti wali kelas, kepala laboratorium, dan lainnya. Pemotongan ini tentu sangat berdampak pada keberlangsungan hidup mereka, terutama di tengah melonjaknya biaya hidup.
Kesejahteraan Guru Masih Jadi PR
Kasus di Banten bukanlah satu-satunya. Masalah kesejahteraan guru adalah persoalan klasik yang tak kunjung selesai. Banyak guru, khususnya di daerah dan yang berstatus honorer, masih hidup dalam ketidakpastian. Gaji rendah, tunjangan tak menentu, bahkan ada yang dibayar di bawah UMR. Padahal, mereka diharapkan menjadi teladan dan pendorong kemajuan bangsa.
Survei dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) pada 2022 menunjukkan bahwa rata-rata gaji guru honorer masih di bawah Rp1 juta per bulan di banyak daerah, jauh dari layak. Kondisi ini jelas menghambat kualitas pendidikan, karena guru terpaksa mencari pekerjaan sampingan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Mengapa Guru Masih Dipinggirkan?
Salah satu akar masalahnya adalah cara pandang negara terhadap profesi guru. Dalam sistem sekuler-kapitalis yang dominan saat ini, guru diperlakukan layaknya pekerja biasa. Kontrak kerja guru bersifat pragmatis dan administratif, tanpa mempertimbangkan peran strategisnya dalam membentuk karakter dan intelektualitas bangsa.
Selain itu, sistem keuangan negara juga sangat terbatas. Ketergantungan pada pajak dan utang luar negeri menjadikan belanja negara kerap kali bergantung pada tekanan fiskal. Ketika anggaran menipis, sektor pendidikan pun menjadi sasaran pemotongan.
Seperti disampaikan oleh Pengamat Anggaran, Bhima Yudhistira (CNN Indonesia, 13 Oktober 2023), lebih dari 30% APBN Indonesia masih dialokasikan untuk membayar utang dan bunganya. Akibatnya, belanja sosial, termasuk gaji dan tunjangan guru, menjadi tidak prioritas.
Privatisasi Pendidikan Memperparah Keadaan
Di sisi lain, negara semakin mendorong privatisasi pendidikan. Lembaga-lembaga swasta tumbuh subur dan sering kali lebih diperhatikan dibanding sekolah negeri. Hal ini terlihat dari minimnya subsidi dan bantuan untuk sekolah negeri, serta dorongan agar sekolah negeri melakukan "usaha mandiri".
Akibatnya, banyak guru merasa negara melepaskan tanggung jawabnya. Pendidikan, yang seharusnya menjadi hak warga negara dan tanggung jawab penuh pemerintah, kini diperlakukan seperti komoditas yang harus dikelola secara bisnis.
Sistem Islam: Guru Dimuliakan, Pendidikan Dijamin
Berbeda dengan kondisi saat ini, sistem Islam memiliki cara pandang yang sangat mulia terhadap guru. Dalam sejarah peradaban Islam, guru menempati posisi tinggi sebagai pengajar ilmu yang membawa umat pada kebaikan dan kemuliaan. Mereka tidak hanya dihargai secara moral, tapi juga dijamin secara ekonomi oleh negara.
Dalam Khilafah Islam, gaji guru dibayar penuh oleh negara dari Baitul Mal. Negara Islam tidak menggantungkan pemasukan hanya dari pajak atau utang, tetapi dari sumber-sumber yang halal dan stabil, seperti pengelolaan kepemilikan umum.
Menurut Imam Abu Ubaid dalam kitab Al-Amwal, pendapatan negara Islam berasal dari sumber seperti fai’, kharaj, jizyah, dan hasil pengelolaan sumber daya alam semua dikelola negara untuk kesejahteraan umat. Sumber daya seperti tambang emas, minyak, gas, dan air bukan milik swasta, tapi milik rakyat yang dikelola negara demi kepentingan publik.
Dengan dana besar yang stabil, negara mampu menggaji para guru, dokter, dan pelayan publik lainnya dengan layak tanpa pemotongan atau ancaman anggaran. Inilah keunggulan sistem Islam dibanding sistem kapitalisme hari ini yang serba defisit.
Pada masa Khalifah Harun al-Rasyid (786–809 M), guru-guru di Baghdad mendapatkan penghargaan tinggi dan gaji yang cukup besar. Bahkan, negara menyediakan fasilitas seperti rumah dinas, perpustakaan, dan beasiswa untuk murid-murid mereka.
Begitu pula pada masa Kekhilafahan Utsmani, para guru di madrasah maupun universitas (seperti Universitas Al-Fatih) digaji dari kas negara dan diberi kedudukan yang sangat dihormati. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya memiliki konsep mulia, tetapi juga bukti sejarah bahwa negara bisa dan wajib menyejahterakan guru.
Saatnya Kembali ke Sistem yang Memuliakan Guru
Jika kita serius ingin memperbaiki pendidikan, kita harus mulai dari memperbaiki nasib gurunya. Dan ini tak cukup hanya dengan anggaran tambal sulam atau janji politis. Kita butuh sistem yang menempatkan pendidikan sebagai tanggung jawab negara dan guru sebagai aset bangsa yang harus dijamin kesejahteraannya.
Sistem Islam dengan keadilan dan keberkahan ekonominya telah terbukti mampu menjalankan fungsi ini selama berabad-abad. Maka sudah saatnya kita mempertimbangkan sistem alternatif yang telah terbukti dalam sejarah bukan terus berharap pada sistem yang berkali-kali gagal menyejahterakan para pendidik. Wallahu'alam
Oleh: Asma Sulistiawati, S.Pd (Praktisi Pendidikan)
Post A Comment:
0 comments: