Dalam beberapa hari terakhir, publik dikejutkan oleh tiga isu yang saling berkelindan dan memperlihatkan wajah negara yang lebih represif terhadap rakyat kecil dibanding solutif.
Pertama, pemblokiran mendadak ribuan rekening warga oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), seperti diberitakan Kompas.com (31 Juli 2025). Banyak warga mengaku panik dan merasa terdzalimi karena dana tabungan darurat mereka mendadak tidak bisa diakses. Padahal, tidak ada transaksi mencurigakan atau pelanggaran hukum yang mereka lakukan. Hanya karena tidak aktif selama beberapa bulan, rekening mereka dikategorikan sebagai “rekening dormant” dan diblokir atas nama pencegahan kejahatan.
Kedua, pada 30 Juli 2025, Kompas Money memuat fakta mengejutkan tentang wacana penyitaan tanah yang “nganggur” lebih dari dua tahun. Meski belum resmi diberlakukan, wacana ini sudah menimbulkan keresahan, apalagi karena tidak semua lahan bisa langsung produktif dalam waktu singkat terutama tanah warisan atau milik petani kecil yang kekurangan modal.
Ketiga, Kompas Nasional (29 Juli 2025) menyoroti ironi negara tampak lebih tertarik memburu rekening dan tanah yang tidak aktif, ketimbang serius mengatasi pengangguran dan menciptakan lapangan kerja yang adil dan berkualitas.
Negara Menjadi Mesin Kontrol, Bukan Pelayan
Jika kita telusuri lebih dalam, akar masalah dari ketiga fenomena di atas berpangkal pada satu hal yaitu negara telah bergeser dari peran sebagai pelayan rakyat menjadi regulator kepentingan korporasi dan stabilitas finansial sistemik. Dalam sistem kapitalisme, pemerintah didorong untuk menjadi pengatur (regulator) yang menjamin kelancaran pasar dan aliran modal. Maka tak heran jika:
Rekening dormant dipandang sebagai celah pencucian uang, bukan sebagai hak milik warga untuk menyimpan dana darurat sesuai kebutuhan mereka.
Tanah nganggur dianggap beban ekonomi, bukan sebagai cadangan strategis atau bentuk hak milik yang dilindungi konstitusi.
Pengangguran dianggap “resiko pasar”, bukan sebagai krisis sosial yang wajib diselesaikan secara struktural.
Ketika negara sibuk mengawasi dan mengontrol apa yang tidak bergerak, tapi abai pada jutaan manusia yang tidak bekerja, maka kita sedang menyaksikan arah kebijakan yang tidak lagi berpihak pada rakyat terutama rakyat kecil.
Dampak Nyata di Masyarakat
Efek domino dari kebijakan ini sangat nyata. Rakyat kehilangan kepercayaan terhadap sistem keuangan formal. Banyak yang mulai menarik dana dari bank dan memilih menyimpan uang secara manual karena takut diblokir tiba-tiba.
Wacana penyitaan tanah memunculkan kekhawatiran di kalangan petani, pensiunan, atau keluarga yang hidup dari tanah warisan.
Pengangguran tetap tinggi, sementara pemerintah justru sibuk mengawasi apa yang disimpan rakyat, bukan menciptakan akses kerja bermartabat.
Masalahnya bukan pada “rekening yang tak bergerak”, tetapi pada negara yang tak bergerak menyelesaikan akar kemiskinan dan pengangguran.
Negara Pelayan, Bukan Penguasa
Dalam Islam, negara bukanlah pengontrol harta rakyat, melainkan pelindung dan pengelola urusan publik berdasarkan syariah. Negara Islam (Khilafah) menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai orientasi utama, bukan hanya stabilitas sistem keuangan atau kepatuhan regulasi. Berikut solusi Islam terhadap tiga isu di atas:
1. Kepemilikan Pribadi Dihormati
Islam sangat menghormati hak kepemilikan individu, baik dalam bentuk uang, tanah, atau aset lainnya. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Setiap orang lebih berhak atas hartanya daripada orang lain.” (HR. Abu Dawud)
Dalam sistem Islam, negara tidak berhak memblokir harta milik rakyat tanpa bukti hukum yang sah, bukan hanya karena tidak aktif. Negara juga tidak boleh menyita tanah hanya karena “nganggur”, kecuali tanah tersebut memang telah mati (ghairu mamurah) dan ditelantarkan tanpa niat mengelola selama bertahun-tahun dan ada kebutuhan publik mendesak, itupun melalui mekanisme qadhi (pengadilan syariah), bukan sekadar keputusan administratif.
2. Negara Menjamin Pekerjaan dan Kebutuhan Dasar
Dalam Islam, negara wajib menjamin lapangan kerja atau kebutuhan pokok rakyatnya. Imam al-Ghazali mengatakan:
“Kemaslahatan umat terletak pada tegaknya negara, dan tegaknya negara tergantung pada keadilan dan kesejahteraan rakyat.”
Negara Islam mengelola sumber daya alam dan aset publik (seperti tambang, hutan, laut) untuk menciptakan pekerjaan dan menyediakan kebutuhan pokok rakyat secara langsung bukan menyerahkan kepada korporasi lalu memungut pajak dari rakyat kecil.
3. Transparansi dan Amanah
Negara dalam Islam bersifat amanah, bukan predator. Pemimpin seperti Umar bin Khattab r.a. sangat berhati-hati menyentuh harta rakyat. Pernah suatu saat, beliau tidak jadi menggunakan pelita negara hanya untuk urusan pribadi. Itu menunjukkan prinsip bahwa harta rakyat bukan milik negara, melainkan titipan yang wajib dijaga.
Saatnya Ubah Arah
Apa yang terjadi hari ini adalah buah dari sistem yang tidak berpihak pada manusia, tetapi pada angka dan stabilitas keuangan. Negara yang seharusnya hadir melindungi rakyat, justru menaruh curiga berlebihan dan memperlakukan rakyat seperti ancaman.
Kita membutuhkan sistem yang menempatkan rakyat sebagai tujuan, bukan objek kontrol. Dan Islam, sebagai sistem hidup yang paripurna, telah menetapkan mekanisme yang adil, transparan, dan berpihak kepada manusia bukan hanya statistik ekonomi. Saatnya kembali kepada Islam sebagai solusi, bukan sekadar agama ibadah, tetapi sistem yang mengatur kehidupan secara menyeluruh.
Wallahu'alam
Oleh: Asma Sulistiawati (Pegiat Literasi)







.webp)











👍✊
ReplyDelete