Konteks dan Temuan Utama
Laporan UNESCO 2024 yang dirilis dalam Global Education Monitoring Report 2023 dan survei Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) 2023 menyoroti rendahnya kemampuan berpikir kritis masyarakat Indonesia di era digital. Meskipun infrastruktur digital terus diperluas, kesadaran untuk memverifikasi sumber informasi sebelum disebarluaskan masih sangat terbatas.

Banyak pemimpin tersinggung ketika rakjat bertanya terlalu jauh atau mengoreksi data yang keliru. Padahal di situlah tanda bahwa daya nalar Rakjat masih hidup.  Ironisnya, sebagian pemimpin justru menganggap sikap kritis Rakjat sebagai bentuk pembangkangan.

Inilah salah satu tragedi kehidupan kita: rakjat yang berpikir Kritis dianggap lancang, sedangkan Rakjat yang diam dianggap sopan. Padahal, masa depan tidak akan dibangun oleh mereka yang hanya pandai mengikuti, melainkan oleh mereka yang berani mempertanyakan.

Rakjat kritis lahir dari ruang aman untuk berpikir. Ketika rakjat takut bertanya tentang anggaran ataupun berkaitan dengan program - program yang berimplikasi kepada masyarakat karena khawatir disebut tidak sopan. Seorang pemimpin yang bijak justru tersenyum saat Rakjat menantang argumennya, karena ia tahu, pertanyaan adalah tanda kehidupan bermasyarakat masih sehat secara logika.

Kritis bukan berarti melawan, tapi mencari makna. Banyak orang salah paham. Mereka mengira Rakjat kritis adalah Rakjat yang suka membantah. Padahal, berpikir kritis adalah kemampuan untuk memahami alasan di balik sebuah ide. Ia tidak berhenti pada pertentangan, tetapi bergerak menuju pemahaman yang lebih utuh.

Rakjat kritis adalah harapan terakhir agar kehidupan bermasyarakat berjalan sebagaimana mestinya.

Warsono,.S.I.Kom - Kamis 23 Oktober 2025
Baca Juga

Post A Comment:

0 comments:

Back To Top