E satu.com (Indramayu) -
Dalam sudut pandang Perlindungan Konsumen sebagaimana mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) No. 08 tahun 1999 Pasal 1 ayat 2 dijelaskan secara general bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan (end user).

Sebagaimana dalam konsiderans UUPK, dijelaskan bahwa kehadirannya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, adil, makmur, memiliki spiritual, dan menjadikan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasannya.

Hal ini tentunya selaras juga dengan tujuan Pendidikan bangsa Indonesia, sebagaimana amanat UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, pada pembukaannya tertulis bahwa "Pendidikan bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, sehingga bangsa tersebut mampu memajukan kesejahteraan umum"

Dapat disimpulkan bahwa kehadiran UUPK & UU Sisdiknas merupakan terobosan bagi negara Indonesia untuk melindungi segenap warganya seketika menjadi seorang konsumen dan peserta didik, sehingga nantinya akan menghasilkan produk yang bermutu (termasuk pendidikan bermutu) yang berdampak positif terhadap kemakmuran serta kesejahteraan umum.

Hanya saja, sampai dengan hari ini belum didapati literatur/regulasi yang eksplisit menentukan bahwa peserta didik/siswa/mahasiswa merupakan seorang konsumen yang menerima jasa pendidikan dari suatu lembaga. Sehingga hak dan kewajiban kedua belah pihak menjadi bias dalam praktiknya, karena tidak diikat dalam klausula baku.

Jika kita lihat UUPK, seorang konsumen dimaknai secara general (Lex General) tak terbatas selama seseorang tersebut pengguna suatu produk maupun jasa dari seseorang, lembaga, atau badan hukum lainnya. Artinya disini, anak-anak yang berada di Daycare, Siswa/Pelajar dari tingkatan TK/RA sampai ke Perguruan Tinggi dapat dikategorikan sebagai konsumen. Sehingga hal ini melekat akan hak dan kewajiban antara konsumen (peserta didik) dan pelaku usaha (lembaga pendidika).

Pertanyaannya, apakah kategori konsumen ini berlaku juga bagi pengguna sektor jasa pendidikan? di mana Pendidikan merupakan lembaga nirlaba?

Jika mengacu pada PP 24 tahun 2018 Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (PP OSS), PT, CV, Firma, Koperasi, termasuk Yayasan yang bergerak di bidang pendidikan juga disebut sebagai Pelaku Usaha. 

Terlebih dalam sistem Online Single Submission (OSS) para pelaku usaha wajib memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) sebagai identitas resmi dan legalitas bagi pelaku usaha untuk mempermudah akses mereka ke berbagai layanan dan program pemerintah. Sehingga literatur ini bisa dijadikan sebagai landasan bahwa peserta didik juga merupakan seorang konsumen.

Lantas bagaimana jika para siswa bersekolah di sekolah negeri yang notabene dibiayai oleh negara?

Tentunya hak siswa selaku konsumen perlu dilindungi juga, karena per hari ini bantuan Pemerintah (Dana BOS) kepada sekolah negeri dan swasta itu diberikan mengikuti dari jumlah siswa yang terdaftar di Dapodik, artinya setiap siswa yang terdata di sekolah turut menyumbangkan Dana BOS kepada sekolahnya. Meski siswa tidak membayar biaya sekolah secara langsung akan tetapi keberadaannya memberikan keuntungan kepada lembaga pendidikan tersebut.

Maka jika kita fahami kembali, konteks Nirlaba dalam lembaga pendidikan itu adalah pada pengelolaan keuntungan yang didapatkan digunakan untuk kepentingan sosial, operasional, dan kemajuan organisasi nirlaba/Non Profit Organization. Akan tetapi label pelaku usaha tetap melekat pada lembaga tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam PP 24 tahun 2018 sehingga memiliki konsekuensi munculnya hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen.



Promosi Curang Marketing Pendidikan


Hari-hari ini banyak lembaga pendidikan, yang ramai-ramai mempromosikan "Gratis Biaya Pendidikan" akan tetapi pada pelaksanaannya pungutan untuk biaya sekolah juga tetap dijalankan, mulai dari penjualan seragam sekolah, biaya infak, pembelian buku, bahkan sampai pada biaya pembinaan siswa (ekstrakurikuler) dan biaya studytour yang memberatkan orang tua.

Sehingga embel-embel gratis hanya dijadikan sebagai selogan tipuan untuk meraup keuntungan dari bisnis yang dijalankan oleh lembaga pendidikan.

Seharusnya, pihak sekolah melakukan promosi yang sewajarnya serta apa adanya, tidak dilebih-lebihkan yang berujung menjadi perangkap bagi siswa/peserta didik, demi mempertahankan eksistensi sekolahnya serta meraup keuntungan.

Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pada BAB IV pada Pasal 5 ayat (1) diterangkan bahwa "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu". 

Sebagaiman dijelaskan dalam konsiderans UU Sisdiknas, Pendidikan yang bermutu dalam hal ini adalah pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didiknya menjadi Insan yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta memiliki akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan malah menjadi pendidikan yang kotor hanya memanfaatkan data siswa untuk meraup keuntungannya saja, dengan terus menerus melakukan wanprestasi serta enggan menjalankan kewajibannya.(iwan)
Baca Juga

Post A Comment:

0 comments:

Back To Top