Sebanyak 43.137 warga Kabupaten Majalengka mendapati kepesertaan BPJS Kesehatan mereka dalam kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI) dinonaktifkan. Pencoretan itu dilakukan berdasarkan hasil pemutakhiran data oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang disampaikan melalui Kementerian Sosial (kompas.com, 23/6/2025).
Menteri Sosial Saifullah Yusuf menjelaskan, bahwa alasan dibalik pencoretan PBI BPJS Kesehatan, dikarenakan peserta tersebut tidak tercatat dalam Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Peserta juga dipandang sudah sejahtera, terbukti melalui uji petik atau ground checking berada pada desil 6-10 di luar kriteria penerima bantuan (cnnindonesia.com, 23/6/2025).
Sekarang ini, perihal akses kesehatan masyarakat, memang tak pernah jauh dari berbagai polemik. Tak hanya di kabupaten Majalengka, kejadian serupa pun terjadi hampir disetiap wilayah Indonesia. Mahalnya sehat dalam sistem ini, bukanlah isapan jempol belaka. Bahkan, hingga memunculkan narasi bahwa hari ini, orang miskin dilarang sakit. Meski faktanya, negara telah memberikan bantuan pembiayaan iuran, namun tak menyasar semua lapisan masyarakat keseluruhan.
Ribetnya administrasi dan prosedur pelayanan kesehatan pun, seakan menabur garam diatas luka rakyat hari ini. Paradigma kapitalisme yang berwatak kapital, telah memandang segala bidang sebagai komoditas bisnis belaka. Tak terkecuali, dalam bidang kesehatan pula.
Kesehatan yang merupakan bagian dari kebutuhan dasar, dianggap sangat berpeluang menghasilkan keuntungan besar dalam sistem kapitalisme sekuler. Sistem ini, telah membuka pintu lebar-lebar bagi para kapitalis (swasta) untuk menguasai segala sektor, termasuk dalam sektor kesehatan. Mirisnya, regulasi dan kebijakan pemerintah justru secara terang-terangan melegalkan praktik kapitalisasi kesehatan ini.
Di samping itu, penguasa/negara dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator terhadap urusan kesehatan. Negara bahkan merasa bercukup diri memberikan jaminan kesehatan dengan membentuk BPJS Kesehatan dan membantu membayar iuran. Walau dalam prakteknya, penerima bantuan iuran ini hanya menjangkau rakyat dengan kategori yang telah ditentukan. Selebihnya, rakyat dibiarkan membiayai layanan kesehatannya sendiri dengan membayar iuran BPJS setiap bulan.
Berbeda dengan syari'at Islam, kesehatan rakyat sepenuhnya ditanggung oleh negara tanpa membedakan status ekonominya. Negara sebagai raa'in, sepenuhnya bertanggung jawab mengurusi urusan rakyat, termasuk dalam mendapatkan layanan kesehatan tanpa harus mengeluarkan biaya. Dalam Muqaddimah ad-Dustuur Pasal 164 diterangkan, “Negara menyediakan seluruh pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat secara cuma-cuma. Namun, negara tidak melarang rakyat untuk menyewa dokter, termasuk menjual obat-obatan.”
Oleh karenanya, negara akan memastikan kesehatan rakyat terpenuhi dari mulai aspek tenaga kesehatan, fasilitas di semua jenjang (primer, sekunder, dan tersier), kelengkapan alat kesehatan, hingga ketersediaan obat untuk semua jenis penyakit yang ada. Negara pun, akan dengan serius menjaga kesehatan rakyatnya, mencegah segala bentuk hal yang akan menghantarkan datangnya sakit menerpa. Semua rakyat, baik kaya maupun miskin, muslim ataupun kafir, akan mendapatkan layanan kesehatan gratis dengan kualitas layanan terbaik.
Namun, semua itu hanyalah angan dalam sistem kapitalisme sekarang. Negara kapitalis senantiasa gagal dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik apalagi ditahap gratis bagi semua masyarakat. Sementara dalam tinta sejarah, kegemilangan sistem Islam dalam bidang kesehatan, terbukti benar-benar melayani setiap elemen masyarakat dengan baik dan benar-benar gratis.
Bahkan, pelayanan kesehatan terbaik dan gratis ini, mampu diakses meski dibalik jeruji penjara sekalipun. Pada masa Khalifah Al-Muqtadir (908—932 M) dan Al-Qahir (932—934 M) dari Khilafah Abbasiyah, negara menyediakan dokter-dokter untuk para narapidana di penjara setiap hari, membawa obat-obatan dan minuman untuk mereka, berkeliling ke seluruh bagian penjara, dan mengobati yang sakit (Ibn Qifthi, Tarikh al-Hukama’).
Di wilayah Bagdad, terdapat Rumah Sakit Al-Adhdi yang memberikan pengobatan gratis untuk seluruh penduduknya. Pasien pun diperlakukan istimewa, seperti mendapatkan pakaian baru yang bersih, berbagai macam gizi, obat-obat sesuai keperluan, dan setelah sembuh, pasien diberi biaya transportasinya. Kesemuanya ini, merupakan gambaran akan wujud tanggung jawab pemimpin/negara dalam mengurusi kesehatan rakyatnya.
Jelaslah, kesejahteraan rakyat dalam mengakses layanan kesehatan hanya mungkin didapati, apabila sistem Islam diterapkan. Maka, menjadi sebuah kebenaran dan kebutuhan, untuk segera mengubah haluan pijakan. Berhijrah secara total, dari jurang sistem kapitalis-sekuler, menuju sistem Islam kaffah, rahmat bagi semesta alam.
Allah SWT berfirman: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu” (TQS. Al-Maidah : 3). “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam” (TQS. Al-Anbiya : 107). Allahu'alam bishshowab.
Oleh : Nunung Nurhayati (Ibu Rumah Tangga, Aktivis Muslimah)
Post A Comment:
0 comments: