Kecurangan beras berulang lagi! Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengungkap ada temuan sebanyak 157 merek beras premium yang tidak sesuai dengan standar mutu yang berlaku. Dari jumlah tersebut, hanya 26 merek yang memenuhi ketentuan (tempo.co, 26/6/2025).
Akibatnya, masyarakat dan negara diperkirakan menderita kerugian finansial yang cukup besar. Berdasarkan perhitungan Kementan, kerugian yang bisa dialami oleh konsumen beras premium diperkirakan mencapai Rp34,21 triliun per tahun, sementara konsumen beras medium berpotensi merugi hingga Rp65,14 triliun. Jika diakumulasikan, kerugian konsumen sekitar Rp99 triliun per tahun (metrotvnews.com, 28/6/2025).
Mirisnya, kecurangan ini terjadi dalam lingkup regulasi negara. Bahkan, sebagian pelakunya adalah perusahaan-perusahaan besar. Berdasarkan hasil pemeriksaan, sebanyak 26 merek beras diduga merupakan hasil praktik penipuan itu berasal dari empat perusahaan besar produsen beras, yakni Wilmar Group, PT Food Station Tjipinang Jaya, PT Belitang Panen Raya, dan PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group). (Kompas.com, 13/7/2025).
Praktek kecurangan adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan yang jauh dari aturan agama (Islam). Kasus ini pula membuktikan bahwa regulasi yang dihadirkan negara saat ini, tidak bergigi. Sistem sekuler kapitalisme telah membuat manusia menjadi makhluk yang lebih serakah lagi. Demi keuntungan, segala cara dihalalkan, yang haram dilegalkan, bahkan regulasi pun dilanggar.
Berulangnya persoalan ini, hingga penyelesaian yang berlarut-larut, menunjukkan lemahnya pengawasan dan sistem sanksi saat ini. Hal ini juga tak lepas kaitannya dari peran sistem Pendidikan dalam membentuk pribadi yang berkarakter unggul. Sistem pendidikan sekuler telah gagal dalam mencetak individu yang amanah juga bertakwa.
Selain itu, ketidakhadiran peran negara dalam mengurusi pangan turut andil menciptakan berbagai kecurangan di pasar. Pengelolaan hulu ke hilir, nyatanya dikuasai oleh korporasi yang orientasinya sekedar bisnis belaka. Penguasaan negara terhadap pasokan pangan tidak lebih dari 10% saja, sehingga negara tidak punya bargaining power terhadap korporasi yang ada. Akhirnya, hal ini berimbas pada pengawasan dan penegakan sanksi terhadap berbagai pelanggaran.
Padahal, bagi pejabat atau penguasa, Islam mengharuskan mereka berlaku amanah dan bertanggungjawab dalam menjaga tegaknya keadilan. Islam menetapkan penguasa sebagai pelayan rakyat yang berperan menjadi raa'in dan junnah bagi rakyatnya. Rasulullah Saw bersabda; “Sesungguhnya imam/khalifah adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung" (HR. Muslim).
Dalam Islam, tegaknya aturan didukung oleh tiga hal; ketakwaan individu, control masyarakat dan tegaknya aturan oleh negara. Negara dengan sistem Islam akan mewujudkan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan. Hal ini akan meminimalisir pelanggaran terhadap berbagai regulasi yang ditetapkan oleh negara. Islam juga memiliki qadi hisbah yang akan memeriksa dan memastikan regulasi terkait hal ini berjalan dengan baik dan sesuai aturan.
Tidak hanya itu, Islam menetapkan kehadiran negara yang harus berperan secara utuh dalam mengurusi persoalan pangan. Mulai dari produksi, distribusi, hingga sampai pada level konsumsi. Negara tidak hanya memastikan pasokannya tersedia saja, namun mengurusi rantai tata niaganya juga, sehingga minim bahkan tidak mungkin terjadi kecurangan seperti ini. Negara dalam sistem Islam akan memastikan konsumsi pangan benar-benar sampai kepada seluruh rakyatnya.
Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman; "Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? (TQS. Al Maidah: 50). Dari itu, hanya sistem Islam solusi terbaik bagi setiap persoalan umat saat ini. Dari mulai kasus kecurangan beras, permasalahan individu, problematika masyarakat hingga negara. Saatnya mencampakkan kapitalisme dan kembali kepada syari'at Allah. Allahu'alam bishshowab.
Oleh :Nunung Nurhayati (Aktivis Muslimah)







.webp)











Post A Comment:
0 comments: