Ketika dunia menatap Gaza dengan perih, generasi muda kembali menunjukkan nurani kemanusiaannya. Di Maroko, ribuan anak muda turun ke jalan menentang tindakan brutal Israel yang mencegat kapal kemanusiaan Global Sumud Flotilla kapal yang membawa obat, makanan, dan harapan bagi rakyat Palestina yang terkepung di Gaza. Namun, seperti kisah yang terus berulang, Israel kembali bertindak semena-mena: menahan bantuan, menodai nilai kemanusiaan, dan menegaskan bahwa penjajahan masih hidup di abad modern.

Aksi solidaritas ini menjadi sorotan global pada Sabtu, 4 Oktober 2025, sebagaimana dilaporkan Kompas.com (04/10/2025). Di berbagai kota dunia London, Paris, Roma, hingga Brussel massa tumpah ruah menentang tindakan Israel. Di Bandung, komunitas Solidaritas Jurnalis Palestina (SJP) menggelar aksi dukungan untuk misi Sumud Flotilla, menyerukan kemerdekaan Palestina dan menuntut dunia berhenti bersikap hipokrit terhadap genosida yang sedang berlangsung.

Flotilla ini bukan sekadar kapal bantuan. Ia adalah simbol keberanian dan kemanusiaan. Saat mereka berlayar membawa muatan kemanusiaan, mereka sesungguhnya membawa pesan moral: bahwa dunia tidak boleh diam terhadap kezaliman. Namun Israel menjawab dengan blokade dan peluru, seolah kemanusiaan bisa dibungkam oleh kekuatan militer.

Kebangkitan Kesadaran Gen Z dan Kegagalan Solusi Dua Negara

Generasi Z hari ini tumbuh di era keterbukaan informasi. Mereka menyaksikan penderitaan Gaza bukan lagi dari tayangan berita formal, tetapi dari video langsung, laporan digital, dan kesaksian para korban. Mereka tahu, ini bukan perang dua pihak yang seimbang, melainkan penjajahan satu pihak terhadap yang lain.

Aksi protes Gen Z di Maroko dan di berbagai kota dunia menjadi penanda bahwa kesadaran politik global umat mulai bangkit. Mereka menolak kemunafikan dunia yang terus berbicara “perdamaian”, tetapi menutup mata terhadap pembantaian.

Sejak Perjanjian Oslo 1993, dunia dipaksa percaya bahwa Two State Solution (solusi dua negara) adalah jalan damai bagi Palestina dan Israel. Namun, tiga dekade kemudian, kenyataan di lapangan berkata lain. Permukiman ilegal Israel terus meluas, wilayah Tepi Barat terpecah, dan Yerusalem Timur yang dijanjikan sebagai ibu kota Palestina semakin dikepung pos militer Zionis.

Bahkan lembaga HAM internasional seperti Human Rights Watch (2021) dan Amnesty International (2022) menegaskan bahwa Israel menjalankan rezim apartheid terhadap rakyat Palestina. Maka, bagaimana mungkin solusi dua negara masih dianggap relevan?

Fakta ini menunjukkan kegagalan total paradigma perdamaian yang dibangun oleh sistem global sekuler-kapitalis. Dunia dikendalikan oleh tatanan internasional yang menempatkan kepentingan geopolitik di atas nilai kemanusiaan. Amerika Serikat dan sekutunya terus menyokong Israel dengan dalih “keamanan regional”, padahal hakikatnya demi menjaga dominasi ekonomi dan militer di Timur Tengah.

Lembaga seperti PBB pun tak berdaya. Berulang kali resolusi yang menuntut penghentian agresi Israel diveto oleh Amerika Serikat. Di hadapan tatanan dunia seperti ini, setiap seruan perdamaian hanyalah formalitas yang menutupi fakta penjajahan.

Sistem kapitalis-sekuler ini tidak pernah memandang Palestina sebagai tanah suci yang harus dibebaskan, tetapi sebagai alat tawar-menawar politik global. Maka, Two State Solution sesungguhnya hanyalah proyek legalisasi penjajahan.

Jihad dan Khilafah, Solusi Hakiki Pembebasan Palestina

Palestina tidak akan pernah merdeka dengan diplomasi. Ia hanya akan merdeka dengan kekuatan umat yang bersatu di bawah satu kepemimpinan Islam.

Islam tidak mengajarkan kompromi terhadap penjajahan. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa umat Islam adalah satu tubuh; bila satu bagian terluka, seluruh tubuh ikut merasakan sakit. Maka penjajahan atas satu negeri Muslim adalah serangan terhadap seluruh umat.

Sejarah menjadi saksi bahwa pembebasan Palestina selalu terjadi melalui jihad dan persatuan umat. Ketika Khalifah Umar bin Khattab membebaskan Al-Quds, beliau tidak menandatangani perjanjian dua negara, melainkan menegakkan keadilan di bawah hukum Islam. Begitu pula ketika Shalahuddin Al-Ayyubi membebaskan kembali tanah suci dari tangan tentara salib, ia melakukannya bukan dengan diplomasi, tetapi dengan jihad fi sabilillah.

Hari ini, dunia Islam terpecah dalam batas nasional yang diwariskan kolonialisme. Masing-masing negeri Muslim sibuk dengan urusan dalam negeri dan kepentingan politik nasional. Padahal, justru persatuan itulah yang menjadi kunci kebangkitan umat.

Selama sistem nasionalisme sekuler tetap menjadi dasar politik dunia Islam, maka kekuatan militer dan ekonomi umat tidak akan pernah mampu menandingi kekuatan penjajah. Oleh karena itu, solusi hakiki bagi Palestina hanya bisa lahir dari tegaknya sistem Islam yang menyatukan seluruh negeri Muslim di bawah satu kepemimpinan global Khilafah.

Khilafah bukan sekadar sistem politik, tetapi institusi yang menegakkan hukum Allah, menjaga kehormatan umat, dan menunaikan jihad untuk membebaskan wilayah yang dijajah. Dengan Khilafah, kekuatan militer umat akan berpadu, ekonomi dunia Islam akan bangkit, dan diplomasi akan berbicara dengan wibawa.

Inilah sistem yang mampu menghentikan penjajahan, menegakkan keadilan, dan mengembalikan kehormatan manusia. Rasulullah ﷺ telah menjanjikan:
 “Kemudian akan ada kembali khilafah yang berjalan di atas manhaj kenabian.” (HR. Ahmad)

Janji itu sedang mendekat. Kebangkitan kesadaran di kalangan Gen Z yang menolak Two State Solution adalah tanda bahwa generasi ini mulai memahami siapa musuh sejati dan apa solusi sejatinya. Mereka menolak tunduk pada narasi palsu perdamaian yang menormalisasi penjajahan. Mereka ingin perubahan sistemik, bukan sekadar belas kasihan.

Kapal Global Sumud Flotilla mungkin ditahan, tetapi semangat umat tidak akan bisa diblokade. Kesadaran bahwa Islam memiliki solusi paripurna terus tumbuh di dada generasi muda.

Maka, wahai Gen Z Muslim, jangan biarkan ide palsu Two State Solution menipu kalian. Jangan terjebak dalam diplomasi yang justru memperpanjang penderitaan saudara-saudara kita di Gaza.

Tegakkan tekad bahwa hanya dengan Islam, jihad, dan Khilafah, Palestina akan benar-benar bebas, dan kemanusiaan akan kembali bermartabat. Wallahu'alam

Oleh: Asma Sulistiawati (Pemerhati Umat) 
Baca Juga

Post A Comment:

0 comments:

Back To Top