Perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi terus melaju pesat setiap detiknya. Inovasi yang tercipta membawa beragam kemudahan dalam kehidupan, seperti akses informasi yang cepat melalui media sosial, kemudahan berkomunikasi lintas wilayah, hingga penyederhanaan urusan administrasi. Namun, di balik berbagai kemudahan tersebut, terdapat dampak negatif yang tidak bisa diabaikan.

Salah satu dampak serius yang kini tengah menjadi perhatian adalah masifnya penggunaan gawai oleh anak-anak sejak usia dini. Hal ini menjadikan mereka rentan terhadap berbagai ancaman siber. Konten-konten yang tersebar bebas di media sosial sering kali mengandung unsur kekerasan, pornografi, dan eksploitasi yang berpotensi menjadi pemicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifatul Choiri Fauzi, menegaskan bahwa media sosial, penggunaan gadget yang tidak terkontrol, serta pola asuh yang lemah menjadi penyebab utama meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Berdasarkan data per Juli 2025, tercatat telah terjadi lebih dari 13.000 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak (www.tempo.com, 11 Juli 2025).

Mengapa hal ini bisa terjadi?
Salah satu akar permasalahannya adalah rendahnya literasi digital dan lemahnya pemahaman keagamaan akibat sistem pendidikan sekuler yang diterapkan saat ini. Sistem ini menjauhkan nilai-nilai spiritual dari pengembangan teknologi, sehingga kemajuan yang dicapai tidak dibarengi dengan filter moral yang kuat. Ironisnya, negara tidak hadir secara optimal dalam memberikan perlindungan. Fokus pada keuntungan materi yang ditawarkan oleh digitalisasi justru mengabaikan aspek keselamatan dan keamanan masyarakat, terutama kelompok rentan seperti perempuan dan anak.

Lebih dari itu, penguasaan dunia siber kini menjadi alat baru dalam dominasi global, yang bukan hanya mengancam privasi, tetapi juga dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku generasi muda.

Lalu, bagaimana solusinya?
Negara seharusnya membangun sistem teknologi digital yang mandiri, tanpa bergantung pada infrastruktur asing. Negara juga harus menjalankan peran sebagai junnah (pelindung) yang melindungi rakyatnya dari bahaya dunia maya. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan sebuah sistem pemerintahan yang menjadikan iman dan takwa sebagai landasan dalam membangun peradaban, yakni sistem Islam yang kaffah.

Dengan  sistem pemerintahan Islam, negara akan mengarahkan perkembangan teknologi secara bijak dan sesuai syariat. Negara juga dapat menciptakan ruang digital yang aman, mendidik, serta bebas dari konten destruktif seperti pornografi, kekerasan, dan eksploitasi. Di bawah sistem ini, perempuan dan anak akan mendapatkan perlindungan sejati, serta akan terbentuk generasi yang mulia, terlindungi di dunia, dan selamat di akhirat.

Oleh: Lia Awaliyah (Mahasiswi Majalengka)
Baca Juga

Post A Comment:

0 comments:

Back To Top