Netizen digemparkan dengan kasus-kasus kekerasan seksual yang mencengangkan di pertengahan tahun 2025. Mulai dari kasus pelecehan seksual 13 santriwati oleh pemilik pondok pesantren di Sumenep, Jawa Timur(bbc.com, 16/6/25) hingga kasus pencabulan 7 mahasiswi oleh oknum dosen UIN Mataram (detik.com, 23/5/25). Bahkan  beberapa dari kasus-kasus ini terindikasi kasus-kasus lama (dari tahun 2016-2024). Temuan kasus ini sangat memprihatinkan, karena hal ini terjadi pada lingkungan pendidikan, apalagi pendidikan Islam yang seharusnya menjunjung nilai-nilai luhur. 

Tentunya kita ingin masalah seperti ini diselesaikan, tidak lagi menimpa siapapun yang ada. Tidak ada orang yang layak menerima perlakuan seperti kasus-kasus di atas. Jika menginginkan solusi tuntas untuk permasalahan kompleks seperti ini, maka tentu saja solusinya juga harus solusi yang sistemik, tidak cukup menangani secara parsial.

Indonesia sebagai negeri dengan penduduk mayoritas muslim, memiliki peluang besar untuk memperbaiki kondisi ini. Sayangnya, paham sekulerisme (memisahkan agama dari kehidupan) masih menjadi hambatan, karena menyebabkan umat Islam hanya berislam setengah-setengah saja. Banyaknya label ‘Islami’ kenyataannya justru tidak mewakili luhurnya ajaran Islam.  Pesantren dan perguruan tinggi Islam yang menjadi salah satu ikon lembaga pendidikan Islam justru menjadi penyumbang kasus kekerasan seksual. 

Sudut Pandang Islam dan Pengaruh Sekulerisme

Islam secara tegas memuliakan manusia. Sehingga setiap pelanggaran tubuh dan kehormatan adalah dosa besar (QS. al-Isra’ [17]: 70). Nabi Muhammad saw. juga mengajarkan perlindungan terhadap anak dan perempuan, melarang zina dan penyimpangan seksual, serta mencegah kebebasan perilaku yang membuka peluang munculnya penyimpangan seksual. 

Secara sistem, sistem pendidikan Islam menanamkan aqidah Islam dan syariat Islam sejak usia dini agar anak memiliki budi pekerti luhur sebagai benteng dari perilaku menyimpang. Namun saat ini, kurikulum pendidikan kita lebih menekankan capaian akademik kognitif semata, tanpa menekankan pembentukan karakter Islami yang kuat. 

Aqidah Islam gagal ditanamkan dan tidak terwujud pada generasi muda, melainkan hanya menjadi ilmu tekstual yang diketahui, dihafal lalu menghilang setelah ujian selesai, Rasa takut dan harap kepada Allah akan pembalasan dari setiap perbuatan tidak tertanam sebagai ‘rem’ dan pengendali dalam berperilaku. Individu hanya berpuas diri dengan mengerjakan ibadah ritual sebagai rutinitas semata. Walhasil, generasi muda mudah tergoda pergaulan bebas yang makin marak di dunia nyata maupun dunia maya.

Lemahnya Islam dalam aqidah dan penerapannya terus dibawa sampai beranjak dewasa. Orang dewasa minim prinsip dan mudah terbawa arus bertemu dengan lingkungan yang ‘nanggung’. Sebagaimana Patrialis Akbar pernah menyampaikan bahwa “Indonesia bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler”, hal ini menunjukkan posisi Indonesia yang ‘galau’ di antara relijius dan sekuler. Pada hakikatnya, Indonesia memang negara sekuler, yang mengakui agama namun membatasi aturan agama di masyarakat.

Kebingungan ini tidak hanya terjadi pada generasi muda, namun juga pada negara dan masyarakat kita. Tidak heran kemudian jika ditemukan adanya orang dengan titel, tampilan, atau pencapaian yang relijus dan pendidikan formal yang tinggi namun berperilaku tidak sesuai dengan syariat Islam. Begitupun juga lembaga keislaman belum tentu menjadi representasi nilai-nilai Islami. Akhirnya umat Islam kesulitan mencari gambaran Islam yang representatif, baik dari segi negara, lembaga, masyarakat, atapun personal.

Padahal, Islam memiliki pandangan yang tegas terhadap kekerasan seksual. Bahkan, sistem hukum pidana Islam tegas dan keras untuk perilaku kekerasan seksual seperti pelecehan atau pemerkosaan. Rincian hukum pidana hingga sistem peradilan dan qadli (hakim) pelaksananya dirinci di dalam Islam. Seluruh sistem ini, beserta sistem pendidikan dan nilai-nilai Islam lainnya, dijaga oleh negara yang menerapkan Islam secara menyeluruh, tidak hanya bermodal teori dan undang-undang tanpa implementasi. 

Islam perlu dipahami secara menyeluruh, mencakup aqidah dan syariah, serta dipahami menyeluruh dan diterapkan juga secara menyeluruh sebagai panduan kehidupan manusia. Dengan inilah Islam dapat menjadi rahmatan lil ‘alamin secara maksimal, dimana masyarakat dan lingkungan pendidikan Islami dapat menjadi representasi lembaga yang menerapkan nilai-nilai Islam secara hakiki, tidak menjadi sumber terjadinya kekerasan seksual yang sangat ditentang oleh ajaran Islam. 

Oleh : Staviera A. (Praktisi Pendidikan di Cirebon)

Baca Juga

Post A Comment:

0 comments:

Back To Top