E satu.com (Yogyakarta)
- Tidak tepat menyabut Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di Yogyakarta sebagai politik dinasti. Membandingkan kesultanan Jogja dengan praktik politik dinasti Jokowi jelas menunjukkan ketidakpahaman.

"Statemen bang Ade (Politisi PSI Ade Armando) kan mengomentari Aliansi Mahasiswa Jogja tentang Gibran sebagai cawapres yang dianggap mewakili kaum muda. Saya agak bingung ketika malah dikaitkan dengan Kesultanan Yogyakarta," ujar Peneliti Perludem, Kahfi Adlan Hafiz saat dihubungi, Selasa (5/12).

Menurutnya, dalam membahas politik dinasti, ada perbedaan dalam Kesultanan Yogyakarta dan majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres bermodalkan Putusan MK Nomor 90 terkait batas usia capres-cawapres. 

Di Jogja, kesultanan dilegitimasi oleh UU berdasarkan landasan historis dan sosiologis. "Jogja juga tidak memiliki Pilgub, sehingga memang tidak ada politik dinasti, karena memang kerajaan," tambahnya.

Sedangkan pada kasus Gibran, tudingan politik dinasti muncul pasca Putusan MK yang serampangan menafsir konstitusi dan UU Pemilu. Selain itu, majunya Gibran mengandung dua persoalan.

"Pertama putusan MK mengandung conflict of interest karena pamannya, Anwar Usman adalah ketua MK. Kedua, dia maju ketika ayahnya, Presiden Jokowi masih menjabat," ungkapnya.

Selain itu, tudingan politik dinasti Jokowi juga diikuti kekhawatiran potensi kecurangan yang mungkin terjadi, seperti politisasi birokrasi dan penggunaan state resource. "Makanya perbandingan Kesultanan Yogyakarta dengan kasus gibran jadi irrelevant (tidak relevan)," pungkasnya.

Sementara itu, Pengamat Politik dari Universitas Gajah Mada, Mada Sukmajati mengatakan, permintaan maaf politisi PSI, Ade Armando dan teguran keras dari PSI belum cukup. Harus ada jaminan bahwa kesalahan yang sama tidak terulang. 

“Kita perlu lihat respon PSI, katanya sudah dikasih teguran keras dan Ade minta maaf, tetapi sampai disitu atau apa respon lebih lanjut. Tentu saja, permintaan maaf dan komitmen untuk tidak mengulang lagi statement serupa di masa datang kita perlukan, pubik perlukan,“ ujar Mada.

Menurutnya, yang disampaikan Ade, bahwa Yogyakarta merupakan contoh nyata Politik Dinasti adalah komentar serampangan.  “Kalau kemudian cara mengcounter narasi politik dinasti tidak pas, itu berarti cara counter narasi bisa dikatakan serampangan. Tidak melalui proses analisa yang cermat dan proses studi yang mendalam, sehingga jogja pun yang notabene kerajaan dan itu diakui secara konstitusi,” sebut Mada. 

Belajar dari blunder ini, Mada mengingatkan agar semua pihak, khususnya politisi untuk berhati-hati dalam bersikap. Mengedepankan etika dan moralitas. 

“Yang kemudian bisa kita pelajari dari isu ini, meski tingkat kompetisi di pemilu tetap tinggi, seharusnya tetap dilandasi dengan etika dan moralitas, sehingga kompetisi itu bisa berjalan dengan santun dan beradab,” tegas Mada. 

Dia menambahkan, dalam suasana kompetisi elektoral seperti ini memang menjadikan orang itu akan kelihatan karakter aslinya. Kalau dia baik, pasti cara cara yang digunakan akan baik, meski tingkat kompetisi tinggi.

”Sebaliknya kalau dia tidak baik, memburu kemenangan saja, itu kemudian akan mudah untuk tergelincir dalam godaan untuk bisa dikatakan mengatakan, menghalalkan semua cara," tandas Mada.(red)
Baca Juga

Post A Comment:

0 comments:

Back To Top